20 April 2015

Bab 6 : Hukum Dagang

Hubungan Antara Hukum Dagang dan Hukum Perdata
            Prof. Subekti S.H. berpendapat bahwa terdapatnya KUHD disamping KUHS sekarang ini dianggap tidak pada tempatnya, oleh karena sebenarnya “Hukum Dagang” tidaklah lain daripada “Hukum Perdata”, dan perkataan “dagang” bukanlah suatu pengertian hukum, melainkan suatu pengertian ekonomi.
            Seperti telah kita ketahui, pembagian Hukum Sipil ke dalam KUHS dan KUHD hanyalah berdasarkan sejarah saja, yaitu karena dalam Hukum Romawi (yang menjadi sumber terpenting dari Hukum Perdata Eropa Barat) belum ada peraturan-peraturan seperti yang sekarang termuat dalam KUHD, sebab perdagangan antar negara baru mulai berkembang pada abad pertengahan.
            Adapun pendapat beberapa sarjana hukum lainnya tentang hubungan kedua hukum ini antara lain adalah sebagai berikut :
a.       Prof. Sudiman Kartohadiprojo berpendapat KUHD merupakan suatu Lex Specialis terhadap KUHS sebagai Lex Generalis. Maka sebagai Lex Specialis, kalau andaikata dalam KUHD terdapat ketentuan mengenai hal yang dapat aturan pula dalam KUHS, maka ketentuan dalam KUHD itulah yang berlaku
b.      Van Kan beranggapan, bahwa Hukum Dagang adalah suatu tambahan Hukum Perdata, yaitu suatu tambahan yang mengatur hal-hal yang khusus. KUHS memuat hukum perdata dalam arti sempit, sedangkan KUHD memuat penambahan yang mengatur hal-hal khusus Hukum Perdata dalam arti sempit itu
c.       Sukardono menyatakan, bahwa pasal 1 KUHD “memelihara kesatuan antara Hukum Dagang dengan Hukum Perdata Umum .........sekedar KUHD itu tidak khusus menyimpang dari KUHS
d.      Van Apeldoorn menganggap Hukum Dagang suatu bagian istimewa dari lapangan Hukum Perikatan yang tidak dapat ditetapkan dalam Kitab III KUHS
e.       Tirtamijaya menyatakan, bahwa Hukum Dagang adalah suatu Hukum Sipil yang istimewa

Hubungan Antara Pengusaha dan Pembantu-Pembantunya
            Pengusaha adalah seseorang yang menjalankan perusahaan atau menyuruh menjalankan perusahaan. Dalam menjalankan perusahannya, pengusaha dapat :
1.    Menjalankan perusahaannya sendiri
Bentuk perusahaannya sangat sederhana dan semua pekerjaan dilakukan sendiri. Umumnya terdapat pada perusahaan perseorangan;
2.    Dilakukan dengan bantuan pekerja
Pengusaha turut serta dalam menjalankan perusahaannya dan mempunyai dua kedudukan yaitu sebagai pengusaha dan pemimpin perusahaan. Biasanya terdapat di perusahaan besar;
3.    Menyuruh orang lain
Dalam hal ini pengusaha menjalankan usahanya tetapi tidak ikut serta dalam menjalankan perusahaan. Pengelolaan perusahaan dikuasakan kepada orang lain. Orang lain yang diberi kuasa ini menjalankan perusahaan atas nama pemeri usaha. Umumnya pemberian kuasa semacam ini terdapat pada perusahaan persekutuan, terutama yang berbadan hukum.

            Namun, di dalam menjalankan kegiatan suatu perusahaan yang dipimpin oleh seorang pengusaha, tidaklah mungkin seorang pengusaha melakukan usahanya seorang diri, apalagi jika perusahaan tersebut dalam skala besar. Oleh karena itu diperlukan bantuan orang/pihak lain (pembantu-pembantu perusahaan) untuk membantu melakukan kegiatan-kegiatan usaha tersebut. Pembantu-pembantu dalam perusahaan dapat dibagi menjadi 2 fungsi yaitu : 
   1.      Membantu didalam perusahaan
·      Pelayan toko
·      Pekerjaan keliling
·      Pengurus filial
·      Pemegang prokurasi
·      Pimpinan perusahaan
   2.      Membantu diluar perusahaan
·      Agen perusahaan
·      Perusahaan perbankan
·      Pengacara
·      Notaris
·      Makelar
·      Komisioner

Hubungan hukum antara pimpinan perusahaan dengan pengusaha bersifat :
 1)      Hubungan perburuhan, yaitu hubungan yang subordinasi antara majikan dan buruh, yang memerintah dan yang diperintah. Manager mengikatkan dirinya untuk menjalankan perusahaan dengan sebaik-baiknya, sedangkan pengusaha mengikatkan diri untuk membayar upahnya (pasal 1601 a KUHPER)
  2)      Hubungan pemberian kekuasaan, yaitu hubungan hukum yang diatur dalam pasal 1792 dsl KUHPER yang menetapkan sebagai berikut ”pemberian kuasa adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya untuk atas nama pemberi kuasa menyelenggarakan suatu urusan”. Pengusaha merupakan pemberi kuasa, sedangkan si manager merupakan pemegang kuasa. Pemegang kuasa mengikatkan diri untuk melaksakan perintah si pemberi kuasa, sedangkan si pemberi kuasa mengikatkan diri untuk memberi upah sesuai dengan perjanjian yang bersangkutan.

            Dua sifat hukum tersebut di atas tidak hanya berlaku bagi pimpinan perusahaan dan pengusaha, tetapi juga berlaku bagi semua pembantu pengusaha dalam perusahaan, yakni: pemegang prokurasi, pengurus filial, pekerja keliling dan pelayan toko. Karena hubungan hukum tersebut bersifat campuran, maka berlaku pasal 160 c KUHPER, yang menentukan bahwa segala peraturan mengenai pemberian kuasa dan mengenai perburuhan berlaku padanya. Kalau ada perselisihan antara kedua peraturan itu, maka berlaku peraturan mengenai perjanjian perburuhan (pasal 1601 c ayat (1) KUHPER.
            Hubungan pengusaha dengan agen perusahaan adalah sama tinggi dan sama rendah, seperti pengusaha dengan pengusaha. Hubungan agen perusahaan bersifat tetap. Agen perusahaan juga mewakili pengusaha, maka ada hubungan pemberi kuasa. Perjanjian pemberian kuasa diatur dalam Bab XVI, Buku II, KUHPER, mulai dengan pasal 1792, sampai dengan 1819. Perjanjian bentuk ini selalu mengandung unsur perwakilan (volmacht) bagi pemegang kuasa (pasal 1799 KUHPER). Dalam hal ini agen perusahaan sebagai pemegang kuasa, mengadakan perjanjian dengan pihak ketiga atas nama pengusaha.

Kewajiban Pengusaha
            Pengusaha adalah setiap orang yang menjalankan perusahaan. Menurut Undang-Undang, ada dua macam kewajiban yang harus dilakukan oleh perusahaan yaitu :
  1.      Membuat pembukuan (sesuai dengan Pasal 6 KUH Dagang Undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang dokumen perusahaan) dan di dalam pasal 2 Undang-Undang nomor 8 tahun 1997 yang dikatakan dokumen perusahaan adalah terdiri dari dokumen keuangan dan dokumen lainnya.
§  Dokumen keuangan terdiri dari catatan (neraca tahunan, perhitungan laba, rekening, jurnal transaksi harian)
§  Dokumen lainnya terdiri dari data setiap tulisan yang berisi keterangan yang mempunyai nilai guna bagi perusahaan, meskipun tidak terkait langsung dengan dokumen keuangan.
  2.      Mendaftarkan perusahaannya (sesuai Undang-Undang Nomor 3 tahun 1982 tentang Wajib daftar perusahaan). Dengan adanya Undang-Undang nomor 3 tahun 1982 tentang wajib daftar perusahaan maka setiap orang atau badan yang menjalankan perusahaan, menurut hukum wajib untuk melakukan pemdaftaran tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan usahanya sejak tanggal 1 juni 1985. Berdasarkan pasal 25 undang-undang nomor 3 tahun 1982, daftar perusahaan hapus jika terjadi :
v  Perusahaan yang bersangkutan menghentikan segala kegiatan usahanya;
v  Perusahaaan yang bersangkutan berhenti pada waktu akta pendiriannya kadarluasa;
v  Perusahaan yang bersangkutan dihentikan segala kegiatan usahanya berdasarkan suatu putusan pengadilan negeri yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.




Sumber :
Neltje F. Katuuk, 1994, Diktat Kuliah Aspek Hukum dalam Bisnis, Universitas Gunadarma, Jakarta

Bab 5 : Hukum Perjanjian

Standar Kontrak
            Standar kontrak adalah perjanjian yang isinya telah ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis berupa formulir-formulir yang digandakan dalam jumah tidak terbatas, untuk ditawarkan kepada para konsumen tanpa memperhatikan perbedaan kondisi para konsumen (Johannes Gunawan).
            Sedangkan menurut Mariam Darus, standar kontrak terbagi menjadi dua yaitu :
1.    Kontrak Standar Umum, artinya kontrak yang isinya telah disiapkan terlebih dahulu oleh kreditur dan diberikan kepada debitur
2.    Kontrak Standar Khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah yang ada dan berlaku untuk para pihak yang ditetapkan sepihak oleh pemerintah
            Kontrak lahir dari kebutuhan masyarakat. Dunia bisnis tidak dapat berlangsung dengan kontrak yang masih dipersoalkan. Suatu kontrak harus berisikan hal-hal seperti berikut :
  ü  Nama dan Tanda Tangan pihak-pihak yang membuat atau terlibat dalam kontrak
  ü  Subjek dan jangka waktu masa berlakunya kontrak
  ü  Lingkup kontrak
  ü  Dasar-dasar pelaksanaan kontrak
  ü  Kewajiban dan tanggung jawab pihak-pihak yang terlibat
  ü  Pembatalan kontrak

Macam-Macam Perjanjian
   1.      Perjanjian Timbal Balik dan Perjanjian Sepihak
            Perjanjian Timbal Balik (Bilateral Contact) adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Pekerjaan timbal balik ini merupakan pekerjaan yang paling umum terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, pemborongan bangunan, dan tukar menukar.
            Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya. Pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi objek perikatan dan pihak lain berhak menerima benda yang diberikan itu.
   2.      Perjanjian Percuma dan Perjanjian dengan Alas Hak yang Membebani
            Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan pada satu pihak saja. Perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dalam nama terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
   3.      Perjanjian Bernama dan Tidak Bernama
            Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri yang dikelompokkan sebagi perjanjian-perjanjian khusus karena jumlahnya terbatas. Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya terbatas.
   4.      Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligator
            Perjanjian kebendaan (Delivery Contract) adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, dimana sejak perjanjian terjadi akan timbul hak dan kewajiban pihak-pihak.
   5.      Perjanjian Konsesual dan Perjanjian Real
            Perjanjian konsesual adalah perjanjian yang timbul karena adanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Perjanjian real adalah perjanjian dimana terdapat persetujuan kehendak juga ada penyerahan nyata atas barangnya.

Syarat Sahnya Perjanjian
            Menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sahnya suatu perjanjian harus memenuhi empat syarat, yaitu :
   1.      Sepakat untuk mengikatkan diri
            Sepakat maksudnya adalah bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju seia-sekata mengenai segala sesuatu yang diperjanjikan. Kata sepakat ini harus diberikan secara bebas, artinya tidak ada pengaruh dipihak ketiga dan tidak ada gangguan.
   2.      Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
            Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian berarti mempunyai wewenang untuk membuat perjanjian atau mengadakan hubungan hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat akal serta pikirannya adalah cakap menurut hukum.
   3.      Suatu hal tertentu
            Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian. Syarat ini diperlukan untuk dapat menentukan kewajiban debitur jika terjadi perselisihan. Menurut Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa, suatu perjanjian harus mempunyai suatu pokok yang paling sedikit ditetapkan jenisnya.
   4.      Sebab yang halal
            Sebab ialah tujuan antara dua belah pihak yang mempunyai maksud untuk mencapainya. Menurut Pasal 1337 KUH Perdata, sebab yang tidak halal ialah jika ia dilarang oleh Undang-Undang, dan bertentangan dengan tata susila atau ketertiban. Menurut Pasal 1335 KUH Perdata, perjanjian tanpa sebab yang palsu atau dilarang tidak mempunyai kekuatan atau batal demi hukum.

Pembatalan Perjanjian
            Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian ataupun batal demi hukum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi karena :
  1.      Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
  2.      Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
   3.      Terkait resolusi atau perintah pengadilan
   4.      Terlibat hukum
   5.      Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan, atau wewenang dalam melaksanakan perjanjian.

Prestasi dan Wanprestasi
            Pengertian prestasi (Performance) dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah mengikatkan diri. Untuk itu, pelaksanaan dilakukan sesuai dengan “Term” dan“Condition” sebagaimana disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.
            Model-model dari prestasi menurut Pasal 1234 KUH Perdata, yaitu berupa :
§  Memberikan sesuatu
§  Berbuat sesuatu
§  Tidak berbuat sesuatu

            Pengertian wanprestasi (Breach of Contract) adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.
            Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut.
            Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi karena :
·      Kesengajaan
·      Kelalaian
·      Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian)



Sumber :

Bab 4 : Hukum Perikatan

Pengertian Perikatan
            Perikatan adalah suatu hubungan hukum mengenai kekayaan harta benda antara dua orang, dimana yang satu diberikan hak untuk menuntut barang/sesuatu dari yang lainnya (pihak terpiutang atau kreditur), sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu (pihak berhutang atau debitur). Barang/sesuatu yang dapat dituntut dinamakan “prestasi” yang menurut Undang-Undang dapat berupa menyerahkan suatu barang, melakukan suatu perbuatan ataupun tidak melakukan suatu perbuatan.

Dasar Hukum Perikatan
            Berdasarkan KUH Perdata, terdapat tiga sumber dasar hukum perikatan yaitu sebagai berikut :
   1.      Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian)
   2.      Perikatan yang timbul dari Undang-Undang
   3.     Perikatan terjadi bukan karena perjanjian, tetapi karena perbuatan melanggar hukum (Onrechmatige Daad) dan perwakilan sukarela (Zaakwaarneming).

Asas-Asas dalam Hukum Perikatan
    1.      Asas Konsensualitas (Sepakat)
            Perjanjan semata-mata timbul karena adanya kata sepakat artinya secara umum tidak diperlukan formalitas tertentu yang disyaratkan. Ada beberapa perjanjian yang memerlukan formalitas tertentu yaitu :
ü  Perjanjian jual beli tanah
ü  Perjanjian perdamaian (mengikat apabila dibuat secara tertulis)

    2.      Asas Kebebasan Berkontrak
            Asas kebebasan berkontrak diatur dalam Pasal 1338 KUHP yang berisi :
·         Seseorang bebas untuk mengadakan perjanjian apa saja meskipun tidak diatur dalam KUHP atau Undang-Undang lainnya
·         Para pihak bebas menentukan isi perjanjian secara menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang bersifat pelengkap (Aanvullentrecht)
·         Bebas menentukan bentuk perjanjian (tertulis atau tidak tertulis)

    3.      Asas Kekuatan Mengikat dari Perjanjian
            Menurut Pasal 1338 Asas Pacta Sunt Servada, seseorang bersifat terikat pada janji yang telah dibuatnya. Semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat bagi pihak yang membuatnya, tetapi ada beberapa pengecualian diantaranya :
§  Dalam keadaan memaksa
§  Jika perjanjian yang dilaksanakan sesuai dengan yang telah disepakati, tetapi menurut keadaan sangat tidak adil, maka hakim mempunyai hak untuk menyesuaikan hak dan kewajiban kedua belah pihak

    4.      Asas Kepribadian
            Perjanjian hanya menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak yang mengadakannya. Perjanjian tidak mengikat pada pihak lain (pihak ketiga). Ada beberapa pengecualian yaitu :
Ø  Janji untuk kepentingan orang ketiga
Actio Paulina yaitu hak kreditur untuk menuntut pembatalan perjanjian yang diadakan oleh debitur yang tidak harus dilakukan debitur yang merugikan kreditur. Perjanjian hanya dapat dibatalkan kepada pihak ketiga apabila tidak ada keharusan, merugikan kreditur, dan hanya perbuatan hukum.

Hapusnya Perikatan
            Menurut Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan. Cara-cara tersebut diantaranya :
      1.      Pembayaran
      2.      Penawaran pembayarn tunai diikuti dengan penyimpanan penitipan
      3.      Pembaharuan hutang
      4.      Perjumpaan hutang atau kompensasi
      5.      Pencampuran hutang
      6.      Pembebasan hutang
      7.      Musnahnya barang yang terhutang
      8.      Kebatalan/pembatalan
      9.      Berlakunya suatu syarat batal
     10.  Lewatnya waktu



Sumber :
Neltje F. Katuuk, 1994, Diktat Kuliah Aspek Hukum dalam Bisnis, Universitas Gunadarma, Jakarta

Review 12 - Perpajakan Internasional dan Penetapan Harga Transfer

NAMA ANGGOTA KELOMPOK : Dwi Ayu Larasati (22213664) Dwi Puspita Agustin (22213693) Nurul Maghfiroh Jufrin (26213733) Puti Melati ...